Cahaya di Tengah Kegelapan
Namaku
Supardi Surya Kuncana, biasa dipanggil Pak Par oleh murid-muridku. Aku adalah
guru di SD Bakti Mekar. Aku tinggal bersama istri dan kedua anakku. Anak
laki-lakiku bernama Satya dan anak perempuanku bernama Sarti. Surya duduk di
kelas 5 SD, sedangkan Sarti duduk di kelas 3 SD.
Istriku,
Sophia, adalah seorang ibu rumah tangga. Walaupun begitu, Sophia sering
membantu perekonomian keluarga dengan cara menjual kue-kue hasil buatannya
sendiri. “Hari ini Bapak membawa bekal kah?” tanya istriku. Aku menjawab, “Bawa
saja, Bu.” Setelah siap menyiapkan semua keperluan kami, aku bergegas
memanaskan motor dan pergi ke sekolah bersama Surya dan Sarti. Kebetulan
anak-anak bersekolah di tempat aku mengajar.
Dengan
tergopoh-gopoh aku memarkir motor tua di tempat parkir guru seraya mengingatkan
Satya dan Sarti agar belajar dengan baik. Mereka merupakan anak yang patuh, aku
bangga menjadi Ayah mereka. “Selamat pagi, Pak Par,” sapa Bu Erni yang
kebetulan lewat di depan kami. “Selamat pagi, Bu Erni,” timpalku. Pagi ini aku
mengajar bahasa Inggris di kelas 6 C. Siswa di kelas 6 C cukup banyak,
kira-kira 45 anak dengan latar belakang keluarga yang beraneka ragam. Hal itu
membuatku harus memutar otak untuk mengajar mereka.
“Hore,
Pak Par sudah tiba!” teriak Thio dari kejauhan. “Hari ini kita akan melanjutkan
bermain peran, kan Pak?” tanya Thio dengan semangat. Aku menjawab, “Sabar,
Thio”, Bapak akan membuka pelajaran terlebih dahulu.” Setelah membahas materi
minggu lalu, aku pun meminta anak-anak untuk latihan terlebih dahulu. Mereka
akan bermain mini drama tentang “The Ant and The Grasshopper.” Ketika sedang
melihat mereka latihan, aku mendengar ada yang mengetok pintu kelas. “Tok … ….
Tok … Tok.” Ternyata itu adalah Kepala Sekolah, namanya Pak Suta. “Selamat
pagi, Pak Par,” sapa Pak Suta. “Selamat pagi, Pak,” balasku. “Tumben sekali Pak
Suta ke kelas,” biasanya dia hanya berdiam diri di singasananya, gumamku dalam
hati. “Apa yang sedang anak-anak lakukan, Pak Par?
“Terdengar riuh sampai ke
luar?” “Anak- aaanak sedang latihan mini drama, Pak”, jawabku seraya bergetar.
“Boleh saya lihat persiapan mengajar Pak Pardi?” tanya Pak Suta kepadaku. “Anu,
Pak, tertinggal di rumah,” jawabku berbohong.”
Lain
kali Pak Par harus membawa persiapan mengajar, ya. Tidak boleh mengajar tanpa
membuat persiapan. Hal itu dianggap malapraktik.” “Iya, Pak, saya mohon maaf,
ya Pak.” “Ya sudah, saya berharap itu tidak terulang kembali.”
Setelah
Pak Suta keluar, tiba-tiba Bukkk sepatu siswa menyentuh wajahku. Wajahku terasa
mati rasa. Aku pun bertanya kepada siswa yang sedang sibuk sedari tadi. “Siapa
yang melempar sepatu ke wajah, Bapak?” tanyaku. Boby dengan gagahnya
mendekatiku. “Saya, Pak, saya tidak sengaja”, ujarnya. Niatnya mau lempar
keluar, Pak, ehhhh, malah kena Pak Pardi.” Hahaha … hahha… anak-anak tertawa
atas jawaban itu. Aku pun enggan untuk menegur Boby. Rasaku percuma saja
menasihati dia. Bel pun berbunyi tanda pelajaran selesai. “Besok akan kita
bahas lagi, ya anak-anak mengenai materi hari ini.” Anak-anak langsung keluar
untuk makan di kantin.
Hari
Rabu adalah jadwal aku mengajar di kelas 6 C. Rasanya hari ini aku tidak
bersemangat mengajar di kelas itu. Ku seruput kopi hitamku yang tinggal
setengah, ah … betapa nikmatnya kopi hitam di pagi ini. Ku lihat Bu Erni dengan
wajah marah masuk ke ruang guru. “Kenapa, Bu Erni?” tanyaku penasaran. “Sedang
tidak mood, Pak Par. Saya mengajar di kelas 6 C. Ribut saja mereka sejak saya
masuk. Apalagi Boby, tingkahnya itu loh, Pak, semakin menjengkelkan.” “Boby
berbuat apa lagi, Bu Erni?” tanyaku. “Masak Boby meminta Joni mengerjakan tugas
Matematika, Pak. Saya langsung tegur, namun kelihatannya tidak ada rasa
bersalah. Sepertinya kita harus memanggil orang tuanya, Pak. Mendengar
pengaduan Bu Erni, mataku langsung gelap dan sesak napas. Selesai mendengar
cerita Bu Erni, aku pun bersiap mengajar di kelas 6 C. Betul saja, Boby dan
teman-temannya sedang bermain polisi maling padahal jam istirahat sudah
selesai. “Ayo duduk anak-anak!” teriakku kepada mereka. Dengan muka jengkel
Boby pun minta izin ke toilet. Sambil anak-anak bersiap, saya bertanya kepada
anak-anak di kelas 6 C. “Apakah Boby sering berbuat ulah, anak-anak?” Tanyaku.
Dari
pojok kelas, Sisca menjawab, “Betul, Pak Par. Sudah sering Boby membuat ulah
sampai membuat kami kadang terluka dan guru-guru yang mengajar kelas 6 C merasa
tidak nyaman.” “Betul, Pak” sambung Joni siswa terpintar di kelas itu. Saya
saja hari ini diminta mengerjakan soal Matematika milik Boby, Pak. Mendengar
hal ini aku penasaran apa yang terjadi dengan Boby. Boby pun tiba dari toilet
dan bertanya tentang mini drama hari ini. “Pak Par hari ini kita jadi kan
bermain drama”, tanya Boby. “Jadi dong, jawabku bersemangat”. Satu per satu
anak-anak menampilakan drama mereka. Aku bangga dengan hasil yang mereka
dapatkan.
Mereka
bersungguh-sungguh dalam memerankan peran yang terdapat dalam drama tersebut.
Setelah jamku berakhir di kelas 6 C, aku memanggil Boby ke ruanganku untuk
menanyakan hal lebih lanjut tentang dirinya. “Bapak memanggil saya”, tanya
Boby. “Iya, Boby. Terima kasih sudah datang ke ruangan Bapak.” Bapak mau
bertanya mengapa akhir-akhir ini kamu selalu murung dan sering berbuat ulah,
Boby? Tanyaku. “Apa maksud, Pak Par?”, tanya Boby. Pertanyaan Bapak sudah jelas
tadi Boby. Silakan Boby cerita ke Bapak, mungkin Bapak bisa bantu.
Lama
Boby mematung di hadapanku. Dia hanya menangis tanpa mengeluarkan satu patah
pun. Aku pun bingung harus melakukan apa agar Boby mau cerita tentang apa yang
dia rasa. “Kalau Boby belum mau cerita ke Pak Par, ya sudah tidak apa-apa.
Mungkin lain waktu Boby bisa cerita. Boby pun pergi meninggalkan ruanganku.
Saat pulang sekolah, muncul niatku untuk mengikuti Boby yang pulang dengan
bersepeda. Sambil membonceng kedua anakku, kami putuskan untuk mengikuti dia.
Kebetulan aku tidak tahu di mana Boby tinggal, siapa orang tuanya karena Boby
merupakan siswa baru di kelas 6 C. Pelan-pelan ku ikuti dia sampai gang mangga,
1 blok dari sekolah kami. Boby berhenti di rumah yang cukup besar.
Ada
security di depan rumahnya, serta ada perawat atau baby sitter
berdasarkan seragam yang dia kenakan. Aku beranikan diri untuk bertanya kepada security
tentang Boby. “Selamat siang, Pak”. Saya gurunya Boby, bolehkah saya bertanya
tentang Boby, Pak?” tanyaku. “Selamat siang, Pak.” Ada apa, Pak? Apakah Boby
tinggal di sini? Benar, Pak, jawab security tersebut. Apakah Boby sering
berbuat ulah di rumah, Pak? Tanyaku. Security pun menjawab, mungkin
Bapak bisa tanya pengasuh Boby saja ya, Pak. Sebentar saya panggilkan. Bu Atmi,
panggil security. Ada gurunya Mas Boby pekiknya. Bu Atmi pun
menghampiriku seraya memandangi ku dan anak-anak. “Gurunya Mas Boby, ya Pak?”
tanya Bu Atmi. “Betul, Bu” jawabku.
Bu
saya mau menanyakan tentang keseharian Boby. Apakah Boby sering berbuat ulah di
rumah, Bu. Bu Atmi pun menjelaskan tentang Boby secara rinci kepadaku. Bu Atmi
menjelaskan bahwa Boby adalah anak yang baik, kedua orang tuanya adalah
pengusaha sukses. Karena Boby merupakan anak semata wayang di keluarga ini,
orang tua Boby menuntut Boby dengan banyak hal. Boby memiliki 5 les yang
semuanya tidak dia sukai. Oh, jadi Boby di bawah tekanan ya, Bu? Bisa dikatakan
seperti itu, Pak. Karena Boby dituntut untuk bagus dalam segalam bidang, maka
Boby berubah menjadi anak yang pemurung.
Aku
pun sekarang paham mengapa Boby menjadi anak yang keras dan suka berbuat ulah.
Esok harinya, aku memberanikan diri untuk memanggil orang tua Boby untuk
berdiskusi mengenai Boby. Aku senang kedua orang tua Boby mau menghadiri
undanganku. Dengan rinci dan jelas aku menceritakan apa saja yang telah
dilakukan Boby di kelas. Kedua orang tua Boby sangat kaget dan tidak menyangka bahwa
Boby dapat melakukan hal-hal yang tidak baik. Kami pun sepakat untuk mengajak
Boby berdiskusi dengan kedua orang tuanya. “Selamat pagi, Pak. Bapak memanggil
saya?” tanya Boby. “Selamat pagi Boby” jawabku. Boby tersentak kaget melihat
kedua orang tuanya di ruangan itu. “Loh, kok ada papa dan mama? Kalian tidak
kerja? Tanya Boby. Tidak Boby jawab mama dengan suara lirih.
Hari
ini kami sudah tahu dari Pak Pardi tentang apa yang sering kamu lakukan di
sekolah. Memangnya apa yang sudah saya lakukan, Ma? Tangis Boby. Saya tidak
melakukan apa pun. Kamu sering berbuat ulah, Boby dan sering berlaku tidak
sopan. Urai Papa Boby. Lantas, apa peduli mama dan papa tentang ini? Kalian
sibuk mengumpulkan harta, namun tidak pernah merasakan kesepian yang aku alami.
Aku ini anak mama atau anak Bu Atmi? Teriak Boby. Kedua orang tua Boby kaget
mendengar anaknya bisa mengatakan itu kepada mereka. Kebetulan Pak Suta, Kepala
Sekolah berdiri sejak tadi mendengarkan pembicaraan kami. Pak Suta meminta Boby
mengeluarkan apa yang dia rasakan kepada orang tuanya. Kata Boby “Saya hanya
mau papa dan mama bangga kepadaku. Saya sudah berusaha untuk mendapatkan nilai
bagus di pelajaran Matematika. Saya sudah belajar sampai pukul 23.00 WIB namun
saya hanya bisa mendapat nilai 70. Dengan nilai itu, apa yang aku dapat? Mama
memarahi aku dengan berkata “Apa saja yang kamu lakukan kok bisa mendapat nilai
hanya 70?”. Belum lagi dengan banyaknya les yang kalian berikan kepadaku.
Aku
suka bermain bola, Ma bukan les piano atau Matematika seperti yang kalian
berikan. Oleh sebab itu, aku mau melawan kalian dengan caraku sendiri.
Mendengar hal itu, sontak orang tua Boby, aku, dan Pak Suta kaget. Kami baru
menyadari bahwa Boby sangat terluka diperlakukan seperti itu oleh orang tuanya.
Dengan nada gemetar kedua orang tua Boby meminta maaf kepada Boby sambil
memeluknya erat-erat. Mama pun membisikkan permintaan maaf kepada anak semata
wayangnya itu. “Maafkan Papa dan Mama, Boby”. Kami ingin yang terbaik untukmu,
namun kami baru menyadari cara kami salah untuk membuatmu menjadi anak yang
berhasil kelak.
Mama
dan Papa melakukan hal ini supaya kamu menjadi anak yang berhasil kelak. Namun,
ternyata ini malah membuat kamu tersiksa. Terima kasih ya Pak Par sudah
memperhatikan Boby sehingga kami sekarang tahu apa yang Boby rasakan.
Dari
kejadian Boby, aku sangat bersyukur dengan profesiku sebagai guru aku dapat
menjadi cahaya di tengah gelapnya hati seorang anak. Keteguhan hati seorang
guru dapat membawa perubahan kecil yang berarti dalam kehidupan murid-muridnya.
Setiap tantangan dapat menjadi pembelajaran.
Komentar
Posting Komentar