Dari Ruang Kelas ke Dunia Nyata: Bagaimana Guru Membentuk Generasi Berpikir Kritis dan Kreatif
Pendidikan merupakan kebutuhan
penting dalam proses kehidupan manusia. Pendidikan sejatinya dimulai ketika
manusia berada dalam kandungan dan terus berlangsung sepanjang manusia hidup.
Pendidikan yang pertama dan utama adalah keluarga. Di rumahlah anak-anak
belajar bagaimana mengasihi, menghargai, melayani, dll. Sehingga orang tua
adalah guru pertama dalam kehidupan anak-anak. Karena begitu pentingnya peran
orang tua dalam keluarga, maka Sri Paus Yohanes Paulus II mengingatkan kita
agar tidak melupakan unsur yang paling mendasar dalam kegiatan pendidikan.
Unsur ini begitu mendasar sehingga menjadi ciri khas peranan orang tua sebagai
pendidik. Unsur itu ialah cinta kasih.
Ketika anak-anak sudah
semakin besar, maka mereka akan siap mengenyam pendidikan di sekolah (Lembaga
formal). Di sekolah, anak-anak banyak menerima ilmu pengetahuan, bukan hanya
itu, mereka juga belajar berinteraksi dengan teman-teman dan masih banyak lagi
yang mereka dapat pelajari di sekolah.
Melalui uraian tersebut,
kita tahu bahwa sekolah harus memiliki sifat dinamis. Apa itu sifat dinamis?
Menurut KBBI kata dinamis memiliki arti penuh semangat dan tenaga sehingga
cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan dan sebagainya. Dengan
demikian, sekolah diharapkan bukan saja memberikan ilmu pengetahuan kepada para
peserta didik lewat buku-buku pelajaran, video, atau pun workshop.
Namun, lebih dalam dari itu, sekolah melalui wadah pendidikan harus
mempersiapkan para peserta didik untuk membangun keterampilan yang relevan di era
digital seperti saat ini supaya mereka dapat beradaptasi di tengah gempuran
arus informasi yang dahsyat.
Para peserta didik saat
ini diterpa dengan ledakan informasi yang mereka dapatkan dari media-media sosial.
Dengan gempuran-gempuran tersebut, para peserta didik harus mampu memilah
informasi, menganalisis fakta, dan membuat keputusan yang tepat, artinya tidak
ikut-ikutan tren yang sedang berkembang saat ini. Aristoteles menekankan bahwa
segala sesuatu seringkali sangat berbeda dari apa yang tampak dan hanya pikiran
yang terlatih yang dapat melakukan analisis dengan tepat. Filsuf seperti Socrates,
Plato, dan Aristoteles menggangap bahwa berpikir kritis sebagai kemampuan
bertanya, menguji serta memikirkan ide dan nilai (McConell, 2008).
Dengan penjabaran di
atas, guru memiliki peran penting dalam mengupayakan cara berpikir kritis peserta
didik. Misalnya saja guru dapat memberikan tantangan intelektual dengan cara
memberikan pertanyaan terbuka, studi kasus, atau proyek yang menuntut analisis.
Guru diharapkan menjadi pendorong utama dalam menciptakan pengalaman
pembelajaran yang lebih kontekstual dan aplikatif, sehingga siswa dapat
mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh mereka secara lebih efektif setelah
menyelesaikan masa sekolah. (Nuraeni, 134).
Guru juga dapat
menerapkan metode diskusi. Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain
(2006:87) diskusi adalah penyajian pelajaran dengan menyajikan suatu
masalah kepada siswa yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan yang bersifat
problematis untuk dibahas dan dipecahkan secara bersama. Melalui diskusi, siswa
dapat mengekspresikan gagasan atau ide mereka tanpa khawatir dicela oleh orang
lain. Peserta didik juga belajar mempertahankan argument mereka secara
rasional.
Meminta anak membuat refleksi
juga dapat membangun rasa critical thinking pada peserta didik. Menurut
Dewey, refleksi merupakan sebuah proses mendapatkan bukti/ petunjuk untuk
mendukung pengetahuan dan keyakinan-keyakinan yang pada akhirnya mempersilakan
individu mengambil keputusan terkait masa depannya Melalui refleksi, mereka
dapat memahami proses belajar yang telah mereka lakukan tadi. Hal apa yang
harus ditingkatkan dan hal apa yang harus dipertahankan.
Guru merupakan tenaga
professional yang memiliki peran penting dalam mencerdaskan generasi bangsa.
Peran guru tidak dapat digantikan oleh AI (Artificial Intellegence) yang
saat ini banyak digunakan oleh masyarakat untuk membantu dan memudahkan dalam
membuat atau mencari informasi. Mengapa demikian? Karena sejatinya guru
memiliki perasaan sayang kepada para peserta didik yang diajarnya. Harus ada
revolusi pemikiran dari guru, bahwa ketika mereka sedang berada di dalam kelas,
mereka bukanlah “AI” yang hanya memberikan informasi kepada para peserta didik,
namun para guru berdiri di depan kelas sebagai motivator, fasilitator,
mediator, pengelola kelas, demonstrator, mentor, dan inspirator. Hal-hal
tersebut tidak bisa diganti oleh “AI” manapun.
Lalu, bagaimana agar
pembelajaran di dalam kelas dapat relevan ke dunia nyata? Pembelajaran di dalam
kelas hendaknya jangan melulu teori yang pada akhirnya hanya membuat peserta
didik pintar di atas kertas, namun tidak di dunia nyata. Para guru hendaknya
selalu mengaitkan pembelajaran di kelas dengan keadaan sehari-hari atau sesuatu
yang sedang tren di masyarakat sehingga para peserta didik memiliki gambaran
yang konkret tentang materi tersebut. Selain itu, hendaknya materi pelajaran
dapat berupa project. Misalanya materi P5 tentang gaya hidup
berkelanjutan di mana materi yang didiskusikan adalah daur ulang sampah. Jangan
sampai materi yang dibawakan hanyalah teori-teori belaka yang tidak ada bentuk
pengaplikasiannya. Padahal, materi tersebut dapat berupa membuat karya dari
sampah bekas. Dari kegiatan tersebut para peserta didik bukan hanya mengetahui,
namun dapat berpikir secara meta kognitif tentang manfaat mereka belajar materi
tersebut.
Generasi saat ini
merupakan hasil dari pendidikan sebelumnya. Jika kita ingin memiliki generasi
yang maju serta tidak letoy dalam menghadapi tantangan zaman, hendaknya kita
sebagai pendidik terus berikhtiar dalam membentuk generasi saat ini agar dapat
beradaptasi dengan tuntutan zaman, tidak tergerus dengan arus kemajuan
teknologi, serta memiliki jiwa patang menyerah dalam belajar. Guru cerdas
memimpin dengan hati, berpikir dengan logika, dan bertindak dengan
kebijaksanaan.
Komentar
Posting Komentar